![]() |
Gambar: jurnalpekan.com |
Pasalnya, gratifikasi seringkali dilakukan agar kepentingannya pihak pemberi sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Pihak penerima jika mendiamkan perbuatan tersebut tentu akan berurusan dengan hukum. Namun berbeda status jika melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam artikel ini akan membahas seputar gratifikasi yang meliputi pengertian, unsur-unsur dan sanksinya.
Pengerti Gratifikasi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi ialah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh.
Menurut arti lain, gratifikasi merupakan pemberian yang cakupannya cukup terbilang luas diantaranya meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan jenis atau beragam fasilitas lainnya.
Baca Juga: Mengulas Restorative Justice : Pengertian, Regulasi dan Kualifikasi
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa melalui sarana elektronik.
Pengertian tersebut mendasarkan pada Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Seperti yang disebutkan diatas, terkait gratifikasi yang tidak menjadi persoalan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) bisa tidak berlaku.
Apabila penerima gratifikasi melaporkan peristiwa tersebut atau gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercatat 30 hari sejak menerima gratifikas. Hal ini mendasarkan pada Pasal 12 C ayat (1) & (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Perbedaan Gratifikasi dengan Suap
![]() |
Ilustrasi Gambar |
Berbicara soal gratifikasi dengan suap seringkali yang terjadi di masyarakat adanya ketidaksesuaian dengan regulasi yang mengaturnya.
Gratifikasi dan suap bisa juga dikatakan sama jika ditinjau terkait status nya yaitu sama-sama tidak diperbolehkan.
Gratifikasi spesifiknya berupa hadiah yang diberikan kepada pegawai atau pejabat sehingga timbul rasa bimbang atau berpihak dalam menghasilkan keputusan meski gratifikasi akadnya tidak "mengikat" atau menjanjikan kepastian dalam kedua belah pihak
Namun berbeda jika mengenai suap, pemberi dan penerima suap yang umumnya berupa nominal atau uang secara spesifik telah mengadakan kesepakatan dalam membuat keputusan sesuai dengan permintaan pihak pemberi atas kewenangan atau pengambilan keputusan yang dimiliki pihak penerima.
Unsur-unsur Gratifikasi
Secara umum, unsur-unsur gratifikasi sebagaimana makna dari "berhubungan dengan jabatan" dengan pihak penerima.
Makna tersebut telah ditafsirkan oleh Arrest Hoge Raad (Putusan Mahkamah Agung Belanda) tanggal 26 Juni 1916 sebagai berikut:
Tidaklah perlu pegawai negeri/penyelenggara negara berwenang melakukan hal-hal yang dikehendaki atau diminta oleh pihak pemberi akan tetapi, cukup bahwa jabatannya memungkinkan untuk berbuat sesuai kehendak pemberi.
“Berhubungan dengan jabatan” tidak perlu berdasarkan undang-undang atau ketentuan administrasi, tetapi cukup jabatan tersebut memungkinkan baginya untuk melakukan apa yang dikehendaki pemberi.
Dalam tafsir tersebut telah dijelaskan yang penulis sederhanakan bahwa maksud pemberi gratifikasi memiliki kepentingan dengan apa yang diinginkan agar penerima gratifikasi melakukan atau tidak melakukan atas kewenangan yang dimilikinya.
Menurut Hafrida dalam jurnal Analisis Yuridis terhadap Gratifikasi dan Suap sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahaun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2013), terdapat empat unsur-unsur gratifikasi yakni:
Subyek hukum atau pembuatnya merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara
Pegawai negeri meliputi PNS, pejabat publik dan orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau pajak.
Baca Juga: Sumber Hukum: Pengertian dan Jenisnya
Sedangkan penyelenggara negara merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Contohnya presiden dan wakil presiden, MPR, DPR, DPD, dan lainnya.
Perlu penulis sampaikan ulang bahwa berkaitan dengan gratifikasi ataupun suap, tentu objek penerima cirinya merupakan orang yang menerima gaji dari rakyat atau pajak.
Perbuatannya ialah menerima pemberian dalam arti luas.
Makna dari pemberian ini mengacu pada Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001. Perbuatan yang tergolong gratifikasi ialah menerima sesuatu yang didasarkan atau dikaitkan pada jabatannya.
Misalnya menerima uang, barang atau hadiah sebagai imbalan, fasilitas pribadi, dan lain sebagainya.
Terkait objeknya pun beragam dan sama sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Pemberiannya berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya.
Pemberian yang digolongkan dalam gratifikasi yakni berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya.
Misalnya pemberian hadiah atau uang karena telah dibantu, pemberian tiket perjalanan kepada keluarga pejabat untuk keperluan pribadi, dan lainnya.
Sanksi Pidana Gratifikasi
Kualifikasi gratifikasi yang dapat diberi sanksi atau dipidana adalah gratifikasi yang memenuhi unsur Pasal 12B UU 20/2001.
Bunyi pasal tersebut mengatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai nigeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakn suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Adapun pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memenuhi kriteria di atas adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun, apabila penerima gratifikasi sebagaimana yang telah disampaikan diatas melaporkannya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, dengan demikian ketentuan Pasal 12B UU 20/2001 tidak berlaku.
Terdapat beberapa jenis gratifikasi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan tersebut lebih jelasnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan KPK 2/2019.