Intitusi Kepolisian Republik Indonesia sedang dilanda ujian oleh 18 oknum personilnya sendiri, namun untuk kali ini tindakan oknum tersebut bukan lagi mencoreng seragam institusinya saja melainkan juga negara.
Bagaimana tidak, dugaan tindak pemerasan ini bukan terhadap sesama warga pribumi melainkan objek sasarannya sudah merebah ke warga negara tetangga yaitu Malaysia.
Apapun yang menjadi alasan oknum tersebut hingga setega ini demi mengedepankan kepentingan individu atau kelompoknya.
Tindakannya bukan lagi melukai yang menjadi korban pemerasan saja melainkan kami warga negara Indonesia juga ikut merasakannya.
Cerita Awal Mula Pemerasan Terjadi
![]() |
Gambar DWP istimewa |
Awal mula terjadi kasus pemerasan yang diduga dilakukan oleh 18 oknum polisi dalam acara Djakarta Warehouse Project (DWP), acara festival musik DWP 2024 yang digelar mulai 13 hingga 15 Desember lalu akhir ini tuai sorotan media hingga menjadi trending seperti sekarang ini.
Bahkan tidak hanya dari dalam negeri saja, melainkan isu DWP ini ikut menjalar ke Negeri Jiran, Malaysia. Maklum, acara ini berlevel internasional yang pesertanya dari mancanegara salah satunya dari negara Malaysia.
Seperti yang di beritakan banyak media, kasus ini korbannya tak tanggung-tanggung hingga berjumlah ratusan warga Malaysia.
Baca Juga : Produksi Uang Palsu di Wilayah Kampus, UIN Alauddin Makassar Ternodai
Berawal dari laporan warga Malaysia yang menghadiri acara DWP, beberapa penonton melaporkan adanya penghentian secara tiba-tiba oleh oknum polisi guna menjalani tes urine mendadak.
Sebelumnya dimintai Paspornya untuk proses administrasi dan sebagian besar hasil tes urine menunjukkan negatif narkoba.
Namun penonton tetap saja diminta untuk menyerahkan uang dalam jumlah yang tidaklah kecil. Langkah ini sebagai bagian dari modus operandi yang dilakukan secara sistematis oleh kelompok tertentu.
Sebagaimana berita yang beredar bahwa Propam Polri mengamankan 18 personel kepolisian yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan Warga Negara Asing (WNA) asal Malaysia karena dituduh positif narkoba saat akan menyaksikan konser tersebut.
Oknum anggota personel yang diamankan diduga memeras WNA asal Malaysia itu mencapai hingga Rp32 miliar. Karopenmas Div Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan:
"Mabes Polri telah menindak lanjuti melalui Divisi Propam Polri dengan mengamankan terduga oknum yang bertugas pada saat itu sebanyak 18 orang, terdiri dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Kemayoran,”
Lanjut kata Brigjen tersebut, Polri tidak akan mentolerir terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap anggotanya sebagai bentuk komitmen dalam menegakkan hukum, dalam rangka meningkatkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat.
Respon Pihak Diluar Intitusi Polri
![]() |
Foto: Bambang Rukminto |
Buntut kasus ini tuai komentar dari unsur masyarakat yang cinta terhadap institusi Polri, salah satunya Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS),
Bambang Rukminto berpendapat, sebanyak 18 orang anggota polisi yang terlibat dalam kasus ini harus dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan.
Bukan lagi mempermalukan institusi Polri melainkan juga sudah mempermalukan negara. Lanjut Bambang, peristiwa itu tak hanya memberi efek negatif pada pariwisata, tetapi juga investasi luar negeri.
Menurutnya, kasus tersebut merusak citra pariwisata terutama sektor Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) yang digencarkan oleh pemerintah.
"Promosi pariwisata yang menggunakan anggaran besar, dirusak oleh perilaku oknum-oknum polisi yang tak memiliki awareness pada negeri dan hanya mengejar kepentingan individu dan kelompoknya saja," sambungnya.
Bambang juga menyatakan, sanksi etik dan disiplin berupa demosi saja tak cukup. Harusnya kepolisian memberi sanksi PTDH dan memproses pidana pungli sebagaimana diatur pada Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga : Kasus Asusila Guru dan Siswi di Gorontalo, Begini Perspektif Hukumnya
Pemberian sanksi sedang atau ringan tak akan membuat efek jera bagi pelaku maupun yang lain dengan kemungkinan untuk berbuat serupa di kemudian hari.
Hal ini dilakukan bukan lagi oknum saja, melainkan kelompok. Lazimnya ketika berkelompok tentu ada yang memimpin.
Sebab, kata Bambang, pemberian sanksi sedang atau ringan tak akan membuat efek jera bagi pelaku maupun yang lain untuk berbuat serupa di kemudian hari.
Apa yang disampaikan tersebut, penulis sangat menyetujui apa yang pendapat sampaikan dan tindakan yang diambil oleh Polri. Demi dan atasnama cintanya kami masyarakat terhadap institusi ini.
Memang sudah saatnya Polri jangan eman dan tanggung dalam menindak tegas atas personilnya yang melakukan pelanggaran hukum.
Jangan lagi ada yang ditutup-tutupi, terus saja terbuka dalam proses ini agar masyarakat bisa menilai seberapa keseriusan Polri dalam membereskan personilnya yang tidak beres.
Polri Masih Terkesan Bungkam
Penulis kutip dari rilisan media Kompas yang mencoba mencari kejelasan atas kasus yang terjadi dan menggali perkembangan yang selama ini dilakukan.
Awal mula pihak Kompas menghubungi Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Ahmad Fuady pada Rabu (18/12/2024). Hanya saja, dia menyarankan agar bertanya langsung kepada Polres Metro Jakarta Pusat.
Pasalnya, berlangsungnya Djakarta Warehouse Project 2024 masuk ke dalam yurisdiksi wilayah hukum Polres Jakarta Pusat.
Sementara, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro menyarankan Kompas.com agar bertanya langsung kepada Polda Metro Jaya.
“Koordinasi (dengan) Ditresnarkoba Polda ya,” ujar Susatyo. Kompas.com menghubungi Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol Donald Parlaungan Simanjuntak.
Bukan hanya itu, kami juga menghubungi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi.
Kendati demikian, kedua pejabat utama Polda Metro Jaya itu juga tak kunjung merespons. Di sisi lain, Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat Kompol Jamalinus Nababan mengaku, Polres Metro Jakarta Pusat tidak memonitor kejadian tersebut.
“Kalau sepengetahuan kami, kami tidak monitor kejadian seperti itu, ditangkap, dipalak dan tes urine,” ucap Jamalinus saat dihubungi wartawan.
Meski begitu, Jamalinus tidak menjawab secara gamblang ketika ditanya apakah ada penonton DWP 2024 yang ditangkap atau tidak.
“Kami saat itu, pengamanan (keberlangsungan acara),” kata Jamalinus. Mengenai beredarnya kabar ini, Jamalinus mengatakan, Polres Metro Jakarta Pusat tengah mengecek ke jajaran apakah ada yang terlibat perkara tersebut atau tidak.
Sebelum kepercayaan masyarakat hilang terhadap institusi ini dalam mengusut kasus yang terjadi, Polri harus menunjukkan keseriusannya dalam menanggapi pertanyaan dari media. Paling tidak jangan sampai ada kesan menghindar dan ambiguitas dalam komunikasi.
Miris memang atas kasus ini yang terjadi, pentingnya orientasi dalam bertugas jangan sampai melenceng dari apa yang telah digariskan.
Apalagi bertugas hanya karena ego pribadi ataupun golongan. Bukan hanya dirinya saja yang dirugikan, melainkan juga institusinya yang ikut teradili oleh citra khalayak publik.
Kesimpulan
Kasus ini jangan sampai kembali terjadi, apalagi korban yang merupakan bukan pribumi tentu intitusi Polri menjadi bahan cibiran warga negaranya.
Pentingnya lurus dan tulus dalam bertugas sesuai dengan amanah yang diembannya. Atasnama penegakan hukum, sekalipun itu yang melakukan pelanggaran penegak hukum maka harus tetap diberikan sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jangan sampai hukum bengkok apalagi tumpul dalam memproses dan mengusut kasus ini. Penulis sangat menyayangkan dan terpukul atas hal ini yang melibatkan oknum unsur kepolisian mulai jajaran terendah hingga menengah.