Dunia jagat maya di hebohkan dengan viralnya skandal video asusila diduga guru dan siswi di Gorontalo. Kejadian itu banyak pihak yang menyayangkan dan membuat geram pada oknum guru tersebut.
Guru yang seharusnya digugu dan ditiru justru berprilaku sebaliknya. Korban yang merupakan siswinya sendiri ternyata berstatus yatim piatu dan terbilang murid berprestasi di sekolahnya.
Dalam artikel ini, penulis akan fokus mengenai perspektif hukumnya. Mari Sobat pehace kita lanjutkan menjelajah...
![]() |
Foto Viral |
Pelaku Merupakan Guru Korban
Kejadian ini bisa terjadi tentu tidak dalam waktu relatif singkat, hubungan antara pelaku dan korban merupakan guru dan siswi. Dalam keadaan dan situasi normal hubungan posisi diantaranya tentu tidak setara dan pasti adanya jarak.
Pelaku mencairkan keadaan dan situasi tersebut dengan memberikan perhatian dan pengertian lebih secara berangsur-angsur dan berkesinambungan hingga puncak maksud dan tujuannya terpenuhi.
Seperti yang banyak diberitakan media bahwa pelaku mulai dekat dengan korban di tahun 2022 hingga puncak terbongkarnya skandal asusila ini di tahun 2024.
Istilah trennya yakni grooming, apalagi kondisi korban seorang yatim piatu yang butuh akan kasih sayang yang dapat menggantikan sosok salah satu diantara orang tuanya.
Kapolres Gorontalo AKBP Deddy Herman, mengatakan bahwa oknum guru berinisial DH tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka usai polisi melakukan pemeriksaan terhadap 10 orang.
Tersangka pelaku dijerat dengan Pasal 81 ayat 3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara dan ditambah sepertiga dari hukuman yang telah ditetapkan karena pelaku adalah seorang tenaga pendidik.
Dalam UU Perlindungan Anak tersebut yang masuk kualifikasi ancaman hukumannya ditambah sepertiga, penulis mengistilahkannya dengan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung atau pengayom justru malah bertindak sebaliknya (koridor seksualitas) diantaranya Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik atau Tenaga Pendidik.
Pendidikan Darurat Kekerasan Seksual
Kasus asusila oknum guru dengan siswinya seperti yang terjadi di lingkungan pendidikan daerah Gorontalo bukan kali ini saja yang terjadi di Indonesia. Lingkungan pendidikannya pun beragam, ada yang berselimut formal sekolah biasa dan ada juga yang informal seperti lingkungan pesantren.
Maraknya kasus kekerasan seksual menjadi tanda bahwa lingkungan pendidikan sedang darurat kekerasan seksual. Penulis kutip dari situs bbc.com Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim mengatakan dalam kasus ini sebagai cerminan bahwa “dunia pendidikan sedang darurat kekerasan seksual”.
Ia mengatakan “situasi darurat“ itu dikarenakan tindakan kekerasan seksual di satuan pendidikan terus berulang dengan tren yang meningkat, ditambah rendahnya sanksi terhadap pelaku sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Pemerintah harus membuat rencana aksi nasional pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkup satuan pendidikan. Hal pertama yang dilakukannya adalah dengan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku.
Merujuk pada kasus yang terjadi di Gorontalo tersebut, pelaku harusnya dijerat dengan pasal berlapis, mulai dari UU KUHP, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Anak, UU ASN, hingga UU Guru dan Dosen, menurut Satriwan.
Apa yang dipaparkan Koordinator P2G tersebut penulis sangat setuju, berikan efek jera dan berantas oknum guru yang bertindak tidak pantas sebagaimana tupoksinya.
Jadikan Agama Sebagai Pondasi
Dalam menjalankan roda ujian kehidupan, secara bernegara sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang dilarangnya kekerasan seksual terhadap anak. Sanksinya pun juga terpapar jelas.
Namun aturan tersebut nampaknya tidak cukup untuk memberikan tanda bahaya dan efek jera, buktinya masih saja ada yang melanggarnya. Terutama sangat disayangkan jika pelaku yang seharusnya menjadi panutan, justru malah sebaliknya.
Berbicara norma hukum, terutama kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun sudah mengatur bahwa PNS wajib menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Siapapun kedepannya juga tidak tahu siapa yang menjadi korban kekerasan seksual selanjutnya, namun perlu Sobat pehace ketahui dan semoga bisa menjadi bekal. Jangan memandang kepada orang itu murni dari unsur siapa (siapapun itu, toh sekalipun guru) saja, tapi lekatkan dengan apa yang dilakukan.
Apapun itu jika yang dilakukan oleh orang tersebut sudah melanggar batasan dalam tataran norma sosial, hukum apalagi norma agama. Maka Sobat pehace jangan mau diperdaya dan diperbudak oleh oknum tersebut dan segera menjauh yang kemudian speak up lah dengan lantang.