CSR Dalam Pandangan Hakim Maria: Paksaan Ataukah Kemanusiaan?

Gambar : Rajagrafindo Persada

Mahkamah Konstitusi tepat pada tanggal 15 April 2009 dalam amar putusannya menolak permohonan para pemohon dalam perkara Nomor 53/PUU-VI/2008 perihal Pengujian formil dan materiil Pasal 74 ayat (1) yang berbunyi. "Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan", Pasal 74 ayat (2) yang berbunyi, "Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajarannya". dan Pasal 74 ayat (3) yang berbunyi, "Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan", beserta penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, khususnya pada frasa "efisiensi keadilan".

Pengajuan perkara ini dilakukan oleh 6 (enam) Pemohon, yaitu Muhammad Suleiman Hidayat (Ketua Umum Pengurus Kamar Dagang dan Industri/KADIN), Erwin Aksa (Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia/BPP HIPMI), Fahrina Fahmi Idris (Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia/IWAPI), PT. Lili Panma, Hariyadi B Sukamdani (Presiden Direktur), PT. Apac Centra Centertex, Tbk. (diwakili Benny Soetrisno sebagai Presiden Direktur), dan PT. Kreasi Tiga Pilar (diwakili Febry Latief selaku Presiden Direktur/Direktur Utama). Para Pemohon mendalilkan bahwa kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) akan menambah biaya produksi dan potensial mengurangi daya saing perusahaan serta pelaksanaan CSR mengarah kepada pemenuhan formalitas dan bentuk korupsi baru.

Hakim Maria merupakan sala satu hakim konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai ketentuan CSR ini. Tiga dari sembilan hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda yaitu Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad Sanusi. Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan CSR dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat, sehingga penormaan CSR dengan kewajiban hukum tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, khususnya pada frasa efisiensi berkeadilan.

Baca Juga : MA Terbitkan SEMA, Larang Hakim Kabulkan Pernikahan Beda Agama

Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara, serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, keuangan negara dan diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU (Pasal 8 huruf a dan huruf b UU Nomor 10 Tahun 2004). UU memang disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat akan hukum, tetapi tidak semua kebutuhan masyarakat harus diatur dengan UU. Hakim Maria menyayangkan beberapa UU yang mengatur hal-hal yang sebenarnya cukup diatur dengan aturan di bawah UU, yaitu Peraturan atau Keputusan Menteri saja.

Hakim Maria berpegang teguh dengan kode etik Hakim Konstitusi, sehingga kegelisahaan dan kepedulian Hakim Maria atas dinamika penyusunan UU diwujudkan dengan menanyakan Naskah Akademik dan urgensi UU PT pada persidangan pengujian undang-undang (PUU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pertanyaan secara tersirat itu untuk selalu mengingatkan hal-hal dalam materi muatan yang harus diatur dengan UU memiliki jiwa dan semangat sesuai dengan amanat UUD 1945. Hakim Maria juga berharap pada masa mendatang agar DPR selalu menyusun Naskah Akademik UU secara serius dan menyertakan Naskah Akademik itu ketika sidang pemberian Keterangan DPR di MK agar UU berisi aturan yang jelas, cermat dan tegas.

Sebagian kecil UU di Indonesia tidak mencantumkan sanksi atas pelanggaran dalam UU, namun dalam UU tanpa sanksi adalah kesia-siaan dalam penyusunan UU. Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan terdiri atas perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijtelling), sebagaimana halnya dengan pemikiran Suarez yang disuarakan oleh M.P. Golding bahwa hukum bersifat preskriptif (mewajibkan) dan deskriptif (dirumuskan tanpa sifat mewajibkan) adalah sama sekali bukan hukum. CSR sebagai tanggung jawab perusahaan memang harus disertai sanksi secara tegas bagi perusahaan yang tidak melaksanakannya, namun pengaturan CSR harus cermat dan jelas. 

UU tanpa ada sanksi bukanlah suatu UU, melainkan kata-kata yang dibuat menjadi kalimat indah, namun rangkaian kalimat itu tidak sesuai dengan tujuan penyusunan UU tersebut dan tidak bermanfaat bagi rakyat. UU yang baik membutuhkan kejelasan, kecermatan, dan ketegasan dalam setiap kalimatnya. Suatu UU harus memuat sanksi agar hukum bersifat preskriptif melalui pengaturan secara cermat, jelas dan tegas, supaya UU itu mudah dilaksanakan oleh penyelenggara negara, pengusaha, dan rakyat. Menurut Rudolf Stammler, sanksi pemaksa dapat menuju sesuatu yang adil (zwangversuch zum richtigen) ketika usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum, sehingga hukum yang adil (richtigen recht) merupakan hukum positif yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan masyarakat.

Kata yang dicetak tebal dalam dissenting opinion Hakim Maria antara lain "jelas, cermat dan tegas", "efisiensi berkeadilan", dan "kebersamaan". Artinya, ketentuan di dalam UU haruslah jelas, cermat dan tegas, maka tanpa adanya sanksi akan mengakibatkan ketentuan itu menjadi tidak jelas, tidak cermat dan tidak tegas yang tidak sesuai dengan tujuan dari pembentukan suatu UU sebagaimana menjadi salah satu asas kepastian hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan "Materi muatan Peraturan perundang-undangan mengandung asas : i ketertiban dann kepastian hukum; dan atau..." Hal ini diperlukan untuk mewujudkan efisiensi berkeadilan dan kebersamaan antara Pemerintah, pengusaha dan masyarakat.

Pengusaha mendirikan usaha di lingkungan masyarakat harus memberikan kenyamanan bagi masyarakat sekitar berupa CSR untuk meningkatkan kenyamanan masyarakat sekitarnya sebagai tanggung jawab dari perusahaan yang menerima keuntungan. Hal itu sebagai timbal balik, di mana seseorang akan mendapatkan hak juga harus memikul kewajiban asasi sebagai tanggung jawabnya, yaitu hak asasi berupa hak atas kesejahteraan perusahaan, maka mempunyai kewajiban asasi berupa kenyamanan masyarakat sekitar seperti memberi pekerjaan bagi warga sekitarnya, pendirian fasilitas umum seperti sekolah, taman bermain, pendanaan sekolah bagi warga sekitar dan lain-lain. Hak asasi dan kewajiban asasi ditujukan agar terciptanya keharmonisan dalam kehidupan bersama di lingkungan itu antara pengusaha dan masyarakat sekitar. Hakim Maria juga turut berpendapat bahwa pengaturan CSR harus dilakukan dengan cermat dan jelas sehingga CSR mudah diimplementasikan.

Walaupun MK menolak permohonan para Pemohon, perlu diperhatikan terkait cakupan CSR tidak hanya kewajiban bagi Perusahaan Terbatas (PT), tetapi juga koperasi, CV, Firma, usaha dagang, dan lain-lain, serta seluruh lingkup usaha termasuk usaha kecil sesuai dengan kemampuannya. Usaha atau kegiatan manusia berkali-kali pasti menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif, bagi manusia lain dan sekitarnya, sehingga setiap manusia wajib untuk menggantikan sesuatu itu seperti sediakala sebelum kegiatan itu ada. Penggantian berupa sesuatu itu sebagai kewajiban bagi pengusaha dan hak bagi orang yang kemungkinan akan dirugikan oleh kegiatan tersebut. Misalnya, memperkerjakan masyarakat sekitar dengan pendapatan layak, penyediaan fasilitas umum yang memadai dan lain-lain.

Peran Pemerintah secara aktif sebagai pengawas dan pengevaluasi atas dampak lingkungan dan masyarakat sekitar adalah salah satu unsur kolaborasi (kerjasama) yang tepat mencakup semua kegiatan yang hendak dicapai dan mempunyai tujuan dan manfaat yang sama secara terus-menerus (kesinambungan) dalam CSR, maka tujuan CSR itu menjadi tepat, tegas dan konsisten. Hubungan atas dasar kemanusiaan yaitu kepercayaan diantara para pihak (pengusaha, pemerintah dan rakyat) akan menimbulkan ketulusan di antara para pihak yang terus berlangsung dan meminimalkan konflik di antara para pihak. Dengan demikian, CSR sebaiknya menjadi suatu paksaan dalam UU yang pelaksanaannya sebagai refleksi ketulusan pengusaha untuk memberikan kepada masyarakat secara layak dan manusiawi atas keuntungan yang diperoleh pengusaha di lingkungan masyarakat tersebut.

Marwah suatu negara dapat terefleksi melalui ketentuan UU yang secara tegas mengatur hak dan kewajiban bagi warga negara, negara dan pihak lain yang terkait dengan UU disertai penjatuhan sanksi secara tegas bagi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban itu. Niscaya, negara melalui para hakim konstitusi dapat mengarahkan para perusahaan Indonesia dan luar negeri bukan sekadar paksaan belaka, tetapi kesadaran penuh atas rasa turut memiliki (sense of belonging) lingkungannya sekitar usahanya untuk membangun kehidupan lingkungan, termasuk masyarakat dan lingkungan secara bersama-sama antara pemerintahm pengusaha dan rakat semakin lebih baik sesuai dengan tujuannya pada Pembukaan UUD 1945, yakni perlindungan hukum, kesejahteraan bersama, mencerdaskan bangsa, kedamaian dan keadilan bersama.

Hakim Maria sebagai ahli di bidang hukum perundang-undangan merupakan salah satu pembaru hukum yang berusaha giat menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat Indonesia ke dalam peraturan perundang-undangan agar sungguh-sungguh sesuai konstitusi. Efisiensi berkeadilan sebagaimana diterapkan dalam ketentuan CSR merupakan bagian dari sistem hukum Pancasila yang bermartabat, bukan atas dasar paksaan, melainkan nilai-nilai Pancasila yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Penulis : Winda Wijayanti 
Buku : Serviam "Pengabdian dan Pemikian Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati"
Hal : 105-110


Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama