Biografi Besar Martokoesoemo: Advokat Pertama Di Indonesia

Sesuatu hal apapun itu jika dilakukan atau dialami pertama kali, tentu akan dikenang dan tercatat oleh sejarah. Seperti halnya Besar Martokoesoemo yang berprofesi sebagai advokat pertama kali di Indonesia ini. 

Sosok terlahir dari keluarga priyayi yang tidak memikirkan rasa nyaman terhadap dirinya saja, melainkan masih ada rasa peduli memikirkan kondisi orang lain. 

Nama Besar tidak hanya sekedar nama, melainkan juga relevan dengan besarnya nilai perjuangan dan kepeduliannya. Sosok yang rendah hati, pendiam namun memiliki kewaspadaan intelektual, nasionalis sejati, dan sangat membenci tindakan korupsi. 

Tatkala diterpa perbedaan, ia lebih memilih untuk diskusi guna mencari jalannya solusi. Rilisan penulis kali ini hanya fokus dan meringkas seputar gerakan perjuangannya dalam koridor hukum. Mari kita lanjutkan menjelajah...

Latar Belakang dan Pendidikan Besar Martokoesoemo
Besar Martokoesoemo
Sumber: Wikipedia

Nama Mertokusumo ada juga yang menulis namanya dengan Martokoesoemo, namun mana yang menjadi nama sebenarnya penulis masih belum tau pasti. 

Penulis memilih nama yang Martokoesoemo dengan dasar pertimbangan tulisan berupa buku-buku yang sudah diterbitkan. Terpenting pembahasan tokoh yang dimaksud tidak ada duanya. 

Besar hanya namanya saja, perawakannya tidak sebesar namanya alias bertubuh kecil. Menurut catatan Anton E. Lucas dalam The Bamboo Spear Pierces the Payung: the Revolution Against the Bureaucratic Elite in North Central Java in 1945 (1983: 450), “Dia dinamai Besar oleh ayahnya karena lahir di bulan ke-sepuluh dalam kalender Islam.” 

Besar Martokoesoemo lahir di Brebes, tanggal 8 Juli 1894. Bapaknya bernama Mas Soemoprawiro Soemowidjojo yang merupakan seorang mantri gudang garam di Pemalang.

Baca Juga : Biografi Otto Hasibuan: Ketua Umum PERADI 

Penulis kutip dari Tirto.id, sebagai sosok anak priyayi, ia disekolahkan di sekolah elite kolonial. Mulai tingkat SD di Europeesche Lagere School (ELS) di Pekalongan. Lalu melanjutkan sekolah menengah di Hogere Burger School (HBS), Semarang. 

Sekolah HBS tak sampai ia tamatkan, karena ia masuk Recht School (sekolah hukum atau yang sering diartikan sebagai sekolah kehakiman) di Betawi. 

Menurut catatan Medan Prijaji, Th. III, (1909: 467-470) seperti dikurasi Iswara N.R. dalam buku Kronik Kebangkitan Indonesia: 1908-1912 (2008: 229), namanya tercantum sebagai salah satu siswa ketika sekolah ini di buka pada pertengahan tahun 1909.

Menurut catatan Sudiro dalam Pelangi Kehidupan: Kumpulan Karangan (1986),  yang masuk sekolah kehakiman pada tahun 1909 dan lulus pada tahun 1915, “Kemudian [...] ditempatkan di Pekalongan sebagai Ambtenaar ter Beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri” (hlm. 325).

Lalu pada tahun 1919, ia dipindahkan ke Pengadilan Negeri (landraad) Semarang. Di pengadilan rendah yang biasa mengadili perkara hukum warga negara kelas tiga alias pribumi itu, Besar Martokoesoemo melihat betapa rendahnya orang-orang pribumi. 

Menurut Sudiro, Besar Martokoesoemo sadar bahwa dirinya bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi ia tak mau berpuas diri dengan hanya bekerja di pengadilan rendah.

Besar Martokoesoemo ingin punya karier lebih baik lagi. Ia tak mau jadi pembela sekelas pokrol bambu yang pengetahuan dan pemikirannya di bidang hukum tak bisa dibandingkan dengan sarjana hukum kolonial yang biasanya bergelar Meesterin Rechten (Mr). Pengacara yang memiliki gelar Mr tentu jauh lebih baik.

Recht School tidak meluluskan sarjana hukum alias Meester in Rechten. Recht School baru setara dengan sekolah menengah kejuruan. 

Ketika Besar Martokoesoemo baru lulus Recht School, Sekolah tinggi hukum alias Recht Hoogeschool (RHS) belum ada di Hindia Belanda. Baru pada 1924 RHS berdiri di lahan bekas Recht School. 

Kawasan itu kini jadi kantor Kementerian Pertahanan RI. Untuk meraih gelar "Mr" yang lebih dipandang orang, Besar Martokoesoemo pun hijrah ke Belanda sekitar tahun 1919-1920.

Perjalanan Karir Sebagai Advokat
Besar Martokoesoemo
Sumber: andiniharyani.com

Besar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden dengan memakai dana sendiri. Ia lulus sekitar tahun 1923 dan menyandang gelar Mr di depan namanya. 

Ia diberi dua pilihan, yaitu menerapkan ilmunya dan bekerja di Belanda atau pulang ke Indonesia. Tentu ia memilih untuk pulang ke Indonesia sebagai mewujudkan tekad awalnya. 

Baginya suatu modal besar karena sudah memiliki lisensi untuk mempraktekkan keilmuannya dengan membuka praktik pengacara. Kala itu berprofesi sebagai advokat sering mendapatkan kecaman dan dianggap jabatan yang tak mentereng seperti jabatan di pemerintahan. 

Hal ini dialami Besar, bahkan ayahnya yang seorang priyai dan memiliki jabatan di pemerintah pun berupaya melarangnya menjadi pengacara. 

Menurut Sudiro, “Besar tidak sudi menjadi pegawai dari pemerintah penjajahan lagi. Padahal tawaran-tawaran dengan gaji yang besar berkali-kali disampaikan padanya. Beliau lebih memilih pekerjaan swasta yakni sebagai advokat (Pengacara).” 

Akhirnya, ia membuka kantor firma hukum (advokat) di Tegal dengan dasar pertimbangan keluarga dan teman-temannya berada disana. Setelah pendirian kantor firma hukum perdananya di Tegal sukses, Besar membuka kantor baru di Semarang. 

Besar merekrut sejumlah pemuda lulusan sarjana hukum untuk bekerja bersamanya. Di antara yang bergabung seperti Sastromulyono, Suyudi, dan lain-lain. 

Selain menjadi advokat, ia juga terjun ke dunia politik yakni tercatat sebagai Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari tahun 1934 hingga tahun 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari tahun 1939 hingga tahun 1940. 

Sebenarnya Besar diawal memang enggan bekerja di pemerintahan, namun keadaan yang mendesak dikarenakan banyak jabatan daerah yang kosong saat pendudukan Jepang, Besar akhirnya terjun dalam politik.

Awalnya Besar diangkat menjadi Walikota Tegal, lalu Bupati Tegal dan kemudian menjadi Wakil Residen Pekalongan. Saat perjuangan revolusi, bersama Residen Banyumas Iskaq Tjokroadisurjo, Besar berhasil mendapatakan banyak senjata dari militer Jepang dengan cara diplomatis. Senjata itulah yang digunakan oleh tentara Republik Indonesia saat itu.

Gagasan Lembaga Bantuan Hukum

Besar Martokoesoemo pernah didatangi praktisi hukum muda yang sedang kuliah di Australia. Saat itu, Besar disuguhkan sebuah ide besar. 

Pemuda tersebut begitu bersemangat agar terbentuknya lembaga bantuan hukum. Pemuda yang dimaksud itu tak lain adalah Adnan Buyung Nasution. Pengacara muda yang mempunyai idealis tinggi. 

Adnan Buyung Nasution mengatakan: Sejarah mencatat bahwa Mr. Besar Martokoesoemo adalah advokat bangsa Indonesia yang pertama kali menjalankan praktik hukum privat di negeri ini (Indonesia). 

Besar meninggal di usianya ke 86 tahun (23 Februari 1980), ia meninggalkan satu istri, empat anak, dan 20 cucu. 

Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama