 |
Bintang Balqis Maulana (14), santri di Kediri yang meninggal dunia |
Kasus penganiayaan santri kembali terulang, kali ini terjadi di wilayah Kediri tepatnya di Pondok Pesantren Tartilul Qur'an (PPTQ) Al-Hanifiyyah Desa Kranding, Kecamatan Mojo.
Seorang santri BBM (14) asal Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi yang dianiaya rekan sesama santri hingga meninggal dunia.
Rekan sesama santri ini berjumlah empat orang yang merupakan senior korban di Ponpes tersebut, namun masih belum diketahui pasti kesemuanya ini apakah pengurus pondok atau hanya santri biasa saja.
Pihak Pengasuh Pondok Pesantren Tartilul Qur'an (PPTQ) Al-Hanifiyyah, Fatihunada atau kerap dipanggil Gus Fatih itu mengaku tidak mengetahui pasti terkait dugaan penganiayaan yang menyebabkan santrinya meninggal dunia.
Pihaknya hanya menerima laporan dari Pengurus bahwa penyebab korban meninggal dunia dikarenakan terpeleset di kamar mandi.
Korban meninggal dunia pada hari Jum'at, 23 Februari 2024 dan jenazah tiba di rumah duka pada hari Sabtu, 24 Februari 2024 yang diantarkan oleh Pengurus pondok dengan didampingi Pengasuh.
Keluarga korban curiga penyebab kematian BBM tidaklah wajar, karena ketika jenazah dikeluarkan dari mobil nampak darah segar bercucuran di keranda.
Mia Nur Khasanah (22) kakak korban meminta untuk kain kafan jasad korban dibuka, nampak ada bekas sundutan rokok dan jeratan leher.
"Astaghfirullah. Luka lebam di sekujur tubuh ditambah ada luka seperti jeratan leher. Hidungnya juga terlihat patah. Tak kuasa menahan tangis. Ini sudah pasti bukan jatuh, tapi dianiaya," ungkap Mia.
MOTIF PELAKU
Apa motif pasti dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan meninggal dunia ini masih dalam tahap penyidikan. "Motif diduga karena kesalahpahaman antara anak-anak pelajar. Jadi antara mereka mungkin ada salah paham kemudian terjadi penganiayaan yang dilakukan berulang-ulang," ujar Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji, Senin (26/2/2024) seperti yang dilansir detiknews.
.jpeg) |
Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji |
Menurut salah satu pengakuan pelaku AF (16) korban susah diatur seniornya, "Katanya Bintang susah diatur, disuruh salat dan disuruh ngaji itu susah. Makanya dia harus dipukul" ujar ibu korban, Suyanti, dilansir detikJatim, Rabu (28/2/2024).
Penganiayaan yang jamak terjadi di kalangan pesantren menurut hemat penulis biasanya disebabkan karena lemahnya mental atau karena lemahnya posisi (melakukan kesalahan atau pelanggaran).
Seperti tidak melaksanakan kegiatan pesantren atau bahkan tidak melaksanakan kewajiban.
Peran Pengurus pesantren dalam menangani santri yang bermasalah tetap tidak dibenarkan dengan menghalalkan segala cara apalagi main hakim sendiri (eigenrechting) hingga melampaui batas kewajaran.
Pengurus Pesantren harus saling berkoordinasi dengan Pengasuh dalam penegakan aturan pesantren, jangan sampai dengan alasan penegakan aturan pesantren malah justru melanggar aturan negara.
Disinilah pentingnya pemahaman Pengurus terkait batas kewajaran dan batasan dalam menangani santri yang bermasalah.
Pun juga dengan pihak Pengasuh, langkah aman ketika dirasa santri yang dianggap bermasalah tidak bisa dibina, maka cukup dibinasakan saja alias dikeluarkan dari Pesantren.
Fatalnya lagi, ada sebagian pengurus menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya bukan untuk kepentingan penegakan aturan pesantren, melainkan permasalahan pribadi pengurus dengan santri yang sedang diurus. Seakan tindakannya benar padahal seperti ini tidak dibenarkan.
JERAT PASAL PELAKU PENGANIAYAAN
Pihak Kepolisian Resort Kediri Kota telah menetapkan para pelaku penganiayaan dengan status tersangka dan telah dilakukan penahanan. Keempat tersangka tersebut yakni MN (18), santri kelas XI asal Sidoarjo; MA (18), santri kelas XII asal Nganjuk; AF (16), santri asal Denpasar; dan AK (17), santri asal Surabaya.
Keempat tersangka dijerat Pasal 80 Ayat 3 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang, serta Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana yang dilakukan secara berulang yang mengakibatkan kematian dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
TANGGAPAN KEMENAG JATIM TERHADAP PONPES AL-HANIFIYYAH
Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur menyatakan Pondok Pesantren PPTQ Al Hanifiyyah Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri tidak berizin.
.jpeg) |
Mohammad As’adul Anam Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim |
Pihak Kemenag ikut suara setelah menindaklanjuti kasus penganiayaan yang viral terhadap seorang santri asal Banyuwangi diduga dianiaya oleh empat orang sesama santri hingga meninggal dunia.
Mohammad As’adul Anam Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Timur mengatakan bahwa pesantren tersebut berdiri sejak 2014 lalu dan pondok pesantren itu tidak memiliki izin operasional.
Keberadaan Ponpes yang tidak memiliki izin, Kemenag tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi secara administrasi. Apalagi kedudukan pesantren yang notabenenya didirikan secara mandiri bukan oleh Pemerintah.
Sementara letak perbedaan Pesantren berizin dengan tidak adalah pada akses bantuan. Bagi yang tidak berizin, maka tidak bisa mengakses bantuan dari pemerintah, termasuk program-program pendidikan lainnya.
“Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur kita tidak bisa menutup pesantren, kenapa demikian ? Karena tujuan orang belajar mencari ilmu agama itu merupakan fardu ain. Oleh karena itu kemudian dijadikan sebagai pertimbangan atau landasan untuk menentukan hukum bahwa pesantren tidak bisa ditutup. Kalau izin operasional bisa dicabut kalau ada tapi inikan tidak ada,” terangnya.