Pemicu Asmara, Aksi Brutalitas Membara

Gambar : sonora.id

Lantaran soal perempuan kerap menjadi persoalan, apalagi masih hangat-hangatnya dalam percintaan. Meski semuanya tidak demikian, namun nyatanya hal inilah yang sering terjadi. 

Menjadi sosok pahlawan bagi pasangan, mendadak kesatria ketika ada persoalan. Pemicu asmara, aksi brutalitas membara seperti halnya kasus penganiayaan yang sempat menjadi perbincangan jagad maya. 

MDS, 20 tahun dan AG, 15 tahun merupakan pasangan yang baru sebulan jadian, MDS melakukan aksi penganiayaan terhadap mantan pacarnya AG, CDO yang masih berumur 15 tahun. 

Buntut dari penganiayaannya, merembet ke orang tuanya. MDS yang kerap kali memamerkan kemewahan kendaraan di media sosial (medsos), menaruh rasa curiga netizen siapakah gerangan orang tuanya. Ternyata ia merupakan anak pejabat yang cukup prestisius di Direktorat Jendral Pajak (DJP). 

Awal mula kasus ini mencuat karena unggahan di medsos oleh orang tua korban penganiayaan yakni Jonathan Latumahina yang merupakan salah satu tokoh penting dalam Gerakan Pemuda (GP) Ansor di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). 

Maka tak heran atas kasus ini, Menteri Yaqut Cholil Qoumas juga angkat bicara. Bahkan petinggi kalangan NU pun juga ikut demikian. 

Perseteruan antara anak pejabat dengan anak petinggi organisasi masyarakat (ormas) kian memanas, korban penganiayaan sempat koma beberapa hari. 

Atas perbuatannya tersebut, MDS terancam hukuman 12 tahun usai polisi menjerat dengan pasal 355 KUHP ayat 1 subsider pasal 354 ayat 1 KUHP subsider 353 ayat 2 KUHP subsider 351 ayat 2 KUHP juncto pasal 76 C pasal 80 UU Perlindungan anak.

Sedangkan AG yang kini sedang di tahan di Polda Metro Jaya pada Rabu 08/03/23, sekarang berstatus sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, sudah bukan lagi anak yang berhadapan dengan hukum. Penyebutannya sebagai pelaku, bukan tersangka dikarenakan AG statusnya masih anak di bawah umur.

Terhadap anak AG, diterapkan pasal 76C juncto pasal 80 UU Perlindungan Anak, pasal 355 ayat (1) KUHP subsider pasal 353 ayat (1) subsider pasal 351 ayat (2) KUHP. 

Ditengah jalannya proses hukum, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta sempat menawarkan upaya keadilan restoratif atas kasus penganiayaan ini agar para pihak berujung damai. 

Tentu keputusannya mau atau tidak berada di pihak korban, mengingat konsep utama Restoratif Justice (RJ) merupakan kesukarelaan alias tanpa adanya paksaan untuk memaafkan atau berdamai. 

Sebelum proses memasuki persidangan seperti sekarang ini (pra-ajudikasi), keberlakuan RJ masih ada harapan. Namun berbeda hal jika perkara sudah masuk sampai tahap persidangan, artinya perdamaian sudah tidak didapatkan.

Keberlakukan RJ masih bisa diterapkan dalam proses penyidikan dan penuntutan. Berbicara penyidikan tentu kewenangan pihak Kepolisian, sedangkan penuntutan kewenangan Kejaksaan. 

Landasan keberadaannya RJ tersebut sebagaimana Peraturan Kepolisian No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadillan Restoratif.


Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama