Beragam Jenis Surat Tanah Di Indonesia

 


Beragam jenis surat tanah yang ada di Indonesia mulai zaman kolonial Belanda hingga pemerintahan Indonesia sekarang ini. Surat tanah sangatlah penting untuk dimiliki sebagai bentuk pengikat atau tanda bukti kepemilikan tanah. Berikut beragam jenis surat tanah yang pernah dan ada di Indonesia.
  1. Girik : Istilah girik sudah ada sejak dulu yang sebagian orang mengklaim sebagai surat kepemilikan tanah, padahal girik hanyalah sebatas surat yang menunjukkan kuasa untuk perpajakan (PBB) saja yang dalam format suratnya terdapat nomor, luas tanah dan pemilik tanah yang sah melalui warisan atau proses jual beli.
  2. Petok D : Surat kepemilikan tanah yang sah dan setingkat dengan sertipikat tanah yang berlaku saat ini. Namun semenjak adanya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) maka statusnya hanyalah sebagai alat bukti pembayaran pajak tanah dari pemilik atau pengguna lahan.
  3. Letter C : Catatan riwayat tanah yang berada di kantor desa/kelurahan juga sebagai catatan penarikan pajak dan keterangan identitas tanah.
  4. Surat Ijo : Surat khusus yang ada di kota Surabaya dengan arti lain IPT (Izin Pemakaian Tanah) yang diberikan pada subyek hukum tertentu berupa HPL (Hak Pengelolaan Lahan), karena statusnya demikian maka dikenakan biaya sewa oleh Pemerintah setempat.
  5. Rincik : Surat pendaftaran sementara tanah milik Indonesia sebelum keberlakuan UUPA. Surat ini banyak digunakan atau banyak dikenal di daerah Makassar dan sekitarnya. Surat ini dipakai untuk salah satu bukti penggunaan dan penguasaan tanah.
  6. Eigendom Verponding : Surat tanah yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda untuk warga pribumi atau warga negara Indonesia. Sifat dari surat tanah ini yakni kepemilikan yang tetap atau setara dengan Hak Milik yang sekaligus juga surat tagihan pajak. Namun semenjak adanya UUPA maka statusnya berubah hanya menjadi SPPT-PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi Bangunan)
  7. Hak Ulayat : Hak penguasaan atas tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. UUPA mengakui adanya hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah tersebut menurut kenyataannya masih ada.
  8. Hak Opstaal : Arti istilah lainnya merupakan hak numpang karang yang hak kebendaannya untuk mempunyai gedung bangunan atau tanaman diatas tanah orang lain (vide pasal 711 BW). Setiap orang yang mempunyai hak numpang karang atas sebidang pekarangan, boleh mengalihkannya kepada orang lain atau memberikannya dengan hak hipotek. Juga boleh membebani pekarangannya dengan pengabdian pekarangan tetapi hanya untuk jangka waktu selama boleh dinikmati haknya (vide pasal 712 BW).
  9. Gogolan : Sebuah hak seorang gogol atau kuli atas tanah komunal desa. Arti lain dari tanah gogolan ialah tanah garapan yang berasal dari masyarakat Jawa.
  10. Gebruik : Hak pakai atas sebidang tanah pekarangan yang kepada pemakainya hanya diperbolehkan mengambil hasil-hasilnya sebanyak yang diperlukan untuk diri sendiri dan seisi rumahnya.
  11. Erfpacht : Hak kebendaan yang memberikan kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan penggunaan tanah kepunyaan pihak lain.
  12. Bruikleen : Surat perjanjian antara kedua belah pihak untuk menyerahkan sebuah benda secara cuma-cuma kepada pihak lain. Juga kewajibannya untuk mengembalikan benda tersebut sesuai pada waktu yang telah disepakati bersama. Surat ini juga bisa dipakai sebagai bukti atas penguasaan tanah dan pihak lain yang ingin memakai tanah tersebut.
Itulah jenis tanah zaman kolonial Belanda yang keberadaannya sekarang telah konversi dengan keberlakuan UUPA dengan segala jenis tanah dan perubahannya yang terdapat dalam pasal 16 ayat (1). Seperti halnya Hak Erfpacht beralih ke Hak Guna Usaha, Hak Osptall beralih ke Hak Guna Bangunan, Hak Gebruik beralih ke Hak Pakai, Eigendom beralih ke Hak Milik dan yang lain. 
Jadi sudah tidak ada lagi istilah surat tanah di masa kolonial Belanda semenjak tahun 1960 dan pemerintah Indonesia sudah memberikan batas waktu 20 tahun untuk mengkonversi dari keberlakuan UUPA tersebut.

Sumber Bacaan : Regulasi, rumah.com dan hukumonline.com







Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama