![]() |
Gambar : Komnas News |
Dalam bernegara hukum (pidana) terdapat asas praduga tak bersalah, doktrin hukum yang biasa disebut dengan presumption of innocence sudah sangat terkenal di hampir semua sistem hukum di dunia ini.
Ada ungkapan hukum dalam bahasa latin yang menyatakan bahwa ei cumbit probatio qui dicit, non qui negat yang berarti beban pembuktian menyatakan sesuatu, bukan di pihak yang membantahnya.
Sebelum dapat dibuktikan apa yang menyatakan atau dipersangkakan kepadanya, maka tersangka tidak dapat dianggap bersalah. Ungkapan bahasa latin inilah kemudian muncul doktrin terkenal dalam hukum pidana berupa praduga tak bersalah.
Maksud dari asas tersebut ialah seseorang tidak dapat dianggap bersalah atau diberlakukan sebagai pihak yang bersalah sebelum terbukti di pengadilan tingkat terakhir yang sudah berkekuatan hukum tetap dan secara meyakinkan tanpa keraguan yang patut dapat membuktikan bahwa tersangka tersebut memang bersalah secara hukum.
Selain doktrin, asas praduga tak bersalah juga ada regulasi yang mengaturnya yakni terdapat dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c dan di dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap"
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap"
Secara esensial, keberadaan asas praduga tak bersalah ini memberikan keleluasaan dan kebebasan di persidangan terhadap terdakwa untuk membuka fakta dan menutup rasa takut dari intimidasi.
Ada yang berpendapat keberlakukan asas ini hanya dalam lingkup persidangan, di luar itu tidaklah berlaku. Namun menurut hemat penulis di setiap tahap proses hukum acara pidana (penyidikan-penuntutan) keberadaan asas tersebut tetaplah berlaku.
Memang kekuatan asas praduga tak bersalah power-full nya dalam tahap persidangan, dihadirkan secara bebas dan terbuka dibandingkan tahap proses sebelumnya yang rawan akan intimidasi bahkan rekayasa fakta.
Menurut Iksan Mardji Ekoputra yang penulis kutip dari situs hukumonline.com menerangkan bahwa asas ini tidaklah dapat dipisahkan dari proses peradilan pidana (mulai seseorang menjadi tersangka atau terdakwa dengan penangkapannya hingga adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya) dikarenakan hubungan keduanya sangat berkaitan erat.
Dalam proses peradilan pidana itulah asas praduga tak bersalah diterapkan dikarenakan sehubungan dengan kepentingan terdakwa yang dianggap "tidak bersalah" maka hak-hak mulai dari tersangka hingga terdakwa harus dihormati dan diberikan sebagaimana mereka yang tidak bersalah.
Keberadaan asas praduga tak bersalah bukan disalah artikan orang yang tidak bersalah, melainkan calon orang bersalah yang bisa juga terbukti atau tidak terbukti setelah melalui tahap uji di pengadilan dengan putusan hakim yang akan diberikan.
Maka dengan adanya asas praduga tak bersalah inilah, para terdakwa mendapatkan support mental secara legal untuk memberanikan diri berbicara apa adanya sesuai dengan fakta.
Bersikap kooperatif sebagaimana mestinya apa yang terjadi karena proses yang dijalani bagian dari konsekuensi dari apa yang dilakukan baik karena perbuatan maupun keadaannya.