Oknum Anggota DPRD Palembang, Bernasib Malang


Kejadian yang tanpa terduga bahkan tidak mengira pelaku pemukulan wanita di pom bensin yang viral di media sosial itu adalah sosok oknum anggota dewan. Terlihat rekaman video amatiran oleh pengendara yang tampak tak punya rasa belas kasihan bertubi-tubi melancarkan pukulan. Awal permasalahannya tidak jelas apa dan kenapa, ternyata lelaki parubaya itu tidak terima antrian mengisi BBM dipotong atau tidak diberi jalan.

Terlintas sejenak seperti orang pinggiran yang biasa hidup di jalanan, eh ternyata dugaanku kali ini meleset. Apa yang ia rugikan atas peristiwa ini hingga marah begitu brutal melakukan pemukulan terhadap sosok perempuan yang tidak sebanding dalam beradu fisik. Kemarahan yang tidak terkontrol sangatlah berbahaya, sudah hal tentu merugikan diri sendiri.

Faktor pembeda bagi orang awam dengan orang paham itu dalam hal penyikapan ketika menghadapi suatu peristiwa. Paling dominan faktor pembedanya masih bisa berfikir jernih meski dilanda rasa amarah. Tindakan oknum anggota dewan ini sangatlah tidak mencerminkan sosok orang yang paham, saya menganggap orang yang punya jabatan itu paling tidak orang yang paham, bukan awam. Namun atas peristiwa ini sangatlah kentara seperti layaknya orang awam.

Apa tidak paham tindakan pemukulan itu masuk ranah pidana yang bisa dikategorikan penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. Selain itu juga ada aturan-aturan internal sebagai kader partai politik dalam bermasyarakat dan berpolitik. Namun pemahamannya orang yang bukan lagi orang awam tidaklah berlaku dan buta dadakan ketika rasa amarah sudah dikedepankan, apalagi tidak bisa lagi dikendalikan.

Pemukulan ia hentikan ketika kaum lelaki pada berdatangan untuk melerai pertikaian yang sempat menghebohkan. Berkat video amatiran, kasus pemukulan terus berkelanjutan. Orang yang punya jabatan diikat hingga terpikat oleh aturan, meski sifatnya paksaan namun itu bagian dari konsekwensi yang harus ia lakukan. Diikat oleh aturan bernegara yakni dalam hal ini tindakannya memenuhi unsur pidana (KUHP) juga memikatkan diri dalam aturan main dalam berpartai.

Tidak berlangsung lama viralnya video amatiran itu juga disusul video permohonan maaf oleh oknum anggota dewan yang ternyata bernama Syukri Zen dari partai Gerindra. Kalau dicermati dari ucapan permohonan maaf yang disampaikan, pertama ditujukan kepada masyarakat, kedua kepada wanita yang ia pukuli. Tatanan permohonan maaf ini menurut penulis sangatlah tidak pas dan etis. Harusnya justru sebaliknya.

Tidak selesai hanya permohonan maaf, tindakan Syukri Zen sudah memenuhi unsur pidana. Apalagi hal ini dilakukan oknum anggota dewan sebagai wakil rakyat, sangatlah tidak pantas dan menciderai jiwa kerakyatan dengan tindakannya yang arogan. Beruntung pengurus partainya menindaklanjuti atas perbuatan kadernya yang tidak manusiawi dengan pemecatan.

Syukri Zen kabarnya sudah dijemput paksa oleh aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polrestabes Palembang dengan ancaman pasal 351 KUHP. Meski hal ini dapat di mediasi sesuai dengan Perkap No. 8 Tahun 2021 Tentang Restoratif Justice, namun sangat kecil kemungkinan dari pihak korban menerima permohonan maafnya.

Penulis sangat setuju jika perkara ini terus dilanjutkan sampai tahap persidangan, sebagai bahan pembelajaran untuk yang lainnya khususnya orang yang punya jabatan agar tidak bersikap arogan dalam setiap persoalan.

Dengan kondisi seperti ini, Syukri Zen menerima sanksi super komplit. Secara administratif, pemecatan. Secara sosial, sanksi berupa rasa malu bahkan cibiran. Secara hukum, sanksi pidana menanti. Berawal peristiwa yang sepele, berujung sanksi yang tidak bisa disepelekan. 
Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama