Mengulas Restorative Justice : Pengertian, Regulasi dan Kualifikasi

Penegakan hukum dalam hukum pidana kian makin masif, tak mungkin rasanya jika aparat penegak hukum (APH) bertindak pasif dalam penindakan kasus pidana. Namun berbicara pidana bukan solusi satu-satunya untuk pelaku dalam mempertanggungjawabkannya dengan mendekam di balik jeruji besi. Tentu tetap dalam koridor, kualifikasi dan kasus tertentu saja. 

Sistem penegakan hukum pidana yang ada sekarang ini masih berorientasi pada penghukuman yang bersifat retributive justice. Hal ini berakibat pada persoalan baru dalam tataran eksekusi yang secara khusus di lembaga pemasyarakatan (Lapas) mengalami overcapacity atau melebihi kapasitas yang seharusnya sehingga menyebabkan kurang optimalnya proses pelaksanaan pembinaan narapidana. 

Selain itu, penerapan retributive justice minim keadilan dan terkesan tidak memberi kesempatan kepada pelaku untuk berbenah dan belajar dari kesalahan yang terjadi. Sehingga APH mengambil inisiasi dengan tidak mempraktekkan retributive justice secara mutlak, melainkan ada tangga kesempatan dengan penerapan metode restorative justice

Dalam artikel ini, penulis akan mengulas seputar restotarive justice yang meliputi pengertian, regulasi dan perkara.

Pengertian Restorative Justice
Restorative justice
Sumber gambar : fianhar.com

Restorative menurut penulis berasal dari kata restorasi yang memiliki arti pemulihan, sedangkan justice merupakan keadilan. Tidak ada pengertian baku terkait hal ini khususnya dalam peraturan perundang-undangan. 

Namun sekelumit bisa kita temui makna restorative dalam Pasal 1 ayat 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yakni Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. 

Penulis kutip dari tulisannya Hakim Pengadilan Negeri Wamena, Papua dalam sebuah Majalah Mahkamah Agung RI Edisi XXVII/2021 halaman 101-102 yang mengatakan bahwa sebenarnya konsep Restorative Justice sendiri bukan hal baru dalam perkembangan dunia peradilan pidana. Sebab, secara teori dan praktik sudah mulai dikenal pada akhir tahun 1970an. 

Baca Juga : Inilah Contoh Obstruction of Justice di Indonesia

Konsep Restorative Justice pertama kali di gagas oleh Howard J. Zehr seorang kriminolog Amerika, yang kemudian menjadikanya sebagai The Pioneer Of The Modern Concept Of Restorative Justice. Howard mengawali advokasi dengan menjadikan kebutuhan korban (victim) sebagai “pusat” dari praktik keadilan restoratif. 

Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. selaku Wakil Direktur Sekolah Kajian Strateiik & Global Universitas Indonesia dalam kajian yang pernah disampaikan bahwa keadilan restoratif merupakan pendekatan baru terhadap sistem penanganan perkara pidana yang ada. 

Keadilan restoratif melibatkan tidak hanya korban dan pelaku, tetapi juga negara dan masyarakat. Keadilan restoratif menjadi cara bagi pelaku untuk bertanggung jawab secara sukarela. 

Namun ganti rugi bukanlah semata-mata tujuan akhir dari penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif, melainkan adalah untuk dapat memperbaiki keadaan dan memberikan solusi atas dampak yang diberikan akibat tindak pidana yang dapat diterima oleh semua kalangan pihak yang terlibat.

Dalam penjelasan KUHP karya R. Soesilo terbitan tahun 1980 ada teori pemidanaan yang disebutkan bahwa dalam kajian filsafat mengenai tujuan hukuman itu beragam tergantung dari sudut mana soal itu ditinjaunya.

Pujangga Jerman E. Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasar atas pepatah kuno "siapa membunuh harus dibunuh" pendapat ini biasa disebut teori pembalasan (Vergelding-theori). 

Pujangga Feurbach antaranya berpendapat bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut teori mempertakutkan (Afchrikking theorie)

Pujangga lain berpendapat, bahwa hukuman itu bermaksud pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut teori memperbaiki (Verbetering theori)

Selain dari pada itu ada pujangga-pujangga yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan akan tetapi maksud lainnya (pencegahan, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tetap tidak boleh diabaikan. mereka ini menganut teori yang biasa disebut dengan gabungan.

Sistem pemidanaan pun mulai bergeser dari retributive justice alias penyelesaian perkara dengan cara penghukuman atau pembalasan menjadi restorative justice. Ada juga yang mengilustrasikan tahapan penindakan pidana berupa retributif (pembalasan) terhadap pelaku, restitutif (ganti tugi) oleh pelaku kepada korban  dan restoratif (pemulihan). 

Namun inti dari semua pendapat mengenai restorative justice menurut penulis menyimpulkan bahwa penindakan pidana yang semula dengan cara monolog (sesuai dengan aturan hukum acara) beralih dengan cara dialog (tidak hanya bertumpu atau melibatkan antara korban dan pelaku saja, melainkan juga dengan pihak lain) yang masih adanya tahap bergaining demi tercapainya keadilan murni.

Regulasi Restorative Justice
regulasi restotarive justice
Sumber gambar : pngitem.com

Restorative justice dalam sistem hukum pidana Indonesia telah dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan juga dalam peraturan kebijakan (beleidsregel) yang diterbitkan oleh masing-masing institusi penegak hukum serta lembaga peradilan. 

Namun tidak ada penyeragaman aturan berupa UU yang mengatur secara khusus mengenai Restorative Justice. Hanya secara implisit saja disebutkan dalam UU SPPA sebagaimana yang telah penulis sebutkan diatas. Hal ini tentu sangat rawan akan ragam tafsir dalam implementasinya atau mungkin bahkan adanya pertentangan.

Baca Juga : CSR Dalam Pandangan Hakim Maria: Paksaan Ataukah Kemanusiaan ? 

Akan tetapi meski tidak adanya UU khusus yang mengaturnya, restorative justice tetap jamak maslahahnya dibanding mudhorotnya. Para APH hadir dan berfikir secara substantif untuk mengisi kekosongan hukum (rechvacuum). 

Berikut beberapa regulasi restorative justice berdasarkan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga penegak hukum :

  • Pasal 1 ayat 6 UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak)
  • PERMA No.2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP
  • Nota kesepakatan bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Menteri Hukum dan HAM, dan Kepala Kepolisian RI No.131/KMA/SKB/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
  • Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
  • Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice
  • Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
  • PERMA No. 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Kualifikasi Restorative Justice
restorative justice
Ilustrasi Gambar

Tidak semua perkara pidana penyelesaiannya bisa melalui restorative justice, tentu ada kualifikasi yang menjadi persyaratannya. Berikut beberapa kualifikasi berdasarkan regulasinya :

Menurut Perma No. 1 Tahun 2024 

Terdapat 5 kualifikasi agar hakim dalam menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan restorative justice yang apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini :

  • Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian korban bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimun provinsi setempat
  • Tindak pidana merupakan delik aduan
  • Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun dalam satu dakwaan termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun
  • Tindak pidana dengan pelaku anak yang diversinya tidak berhasil
  • Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan

Menurut Perja No. 15 Tahun 2020

Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhinya 3 syarat sebagai berikut :

  • Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana
  • Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun 
  • Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana yang tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah)

Menurut Perpol No. 8 Tahun 2021

Dalam regulasi ini secara umum terdapat 2 kualifikasi yakni materil dan formil agar perkara bisa diselesaikan melalui restorative justice yakni :

Syarat Materil 

  • Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat
  • Tidak berdampak konflik sosial
  • Tidak berpotensi memecah belah bangsa
  • Tidak bersifat radikalisme dan separatisme
  • Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan 
  • Bukan tindak pidana terorisme, keamanan negara, korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang

Syarat Formil

  • Perdamaian dari kedua belah pihak kecuali untuk tindak pidana narkotika
  • Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku kecuali untuk tindak pidana narkoba.
Itulah ulasan penulis mengenai restorative justice yang meliputi pengertian, regulasi dan kualifikasinya. Semoga bermanfaat !



Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama