Yurisprudensi di Indonesia Sebagai Instrumen Penjaga Kesatuan Hukum

Gambar : SeputarIlmu.com 

Yurisprudensi di Indonesia secara umum diakui bahwa sumber hukum formal diantaranya Undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan doktrin. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Yurisprudensi selain sebagai sumber hukum, dalam dunia peradilan mempunyai beberapa fungsi antara lain :

Menegakkan adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara yang sama atau serupa, karena dalam UU tidak atau jelas mengatur hal itu :

  1. Menegakkan adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara yang sama atau serupa, karena dalam UU tidak atau tidak jelas mengatur hal itu.
  2. Menciptakan kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standar hukum yang sama.
  3. Menciptakan adanya kesamaan hukum serta sifat dapat diperkirakan (predictable) pemecahan hukumnya.
  4. Mencegah kemungkinan terjadinya disparitas perbedaan dalam berbagai putusan hakim pada kasus yang sama, sehingga jika terjadi perbedaan putusan antara hakim yang satu dan yang lain dalam kasus yang sama, perbedaan putusan itu tidak sampai menimbulkan disparitas, tetapi hanya bercorak sebagai variable secara kasuistis
  5. Manifestasi dari penemuan hukum.
Yurisprudensi semula merupakan doktrin yang berkembang dari ajaran "hukum yang dibuat oleh hakim" (Judge made law). Montesquieu mengatakan bahwa badan peradilan sebagai salah satu unsur trias politica menjalankan kekuasaan mengawasi pelaksanaan hukum dan menegakkan hukum. 

Dalam perkembangannya, selain mengawasi pelaksanaan hukum dan menegakkan hukum, badan peradilan juga bertugas sebagai pencipta (pembentuk) hukum, sehingga melahirkan ajaran "hukum yang dibuat oleh hakim". 

Ajaran judge made law itu berasal dari sistem hukum di Inggris dan negara-negara dengan tradisi common law/case law system atau anglo saxon lainnya yang juga dikenal sebagai preceden atau stare decisis.

Doktrin preceden yang mengikat mengajarkan bahwa hakim terikat pada putusan-putusan terdahulu yang dibuat oleh hakim yang sama atau yang lebih tinggi tingkatannya di dalam susunan peradilan. Hal ini bermakna bahwa ketika hakim mengadili suatu kasus, ia akan memeriksa apakah permasalahan yang sama telah diputus oleh pengadilan sebelumnya. 

Doktrin precedent atau stare decisis tersebut telah memberikan dampak positif berupa hukum yang dapat diperkirakan yang menimbulkan keajekan, keteraturan, kepastian dan keadilan dalam tradisi common law.

Sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum, ajaran tersebut diterima dan dijalankan pula pada sistem hukum yang lain, seperti civil law system atau Eropa Kontinental sehingga terjadi pertemuan yang semakin dekat antara sistem common law dan civil law

Kecenderungan pada teori dan praktik civil law, pada Mahkamah Eropa, European Court of Justice (ECJ), juga menunjukkan pengakuan atas manfaat pembentukan kaidah hukum dari hukum yurisprudensial (case law). 

Negara penganut civil law, seperti Perancis dan Belanda yang akar hukumnya sama dengan hukum Indonesia, putusan hakim khususnya yurisprudensi, semakin dianggap sebagai sumber yang penting.

Berdasarkan studi banding yang dilakukan oleh delegasi Mahkamah Agung Indonesia ke Hoge Raad Belanda, putusan-putusan hakim peradilan Belanda selalu memuat yurisprudensi dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Para akademisi juga senantiasa membahas yurisprudensi dan mengkaji apakah kesatuan dan konsistensi hukum telah diwujudkan.

Sistem hukum di Indonesia tidak menganut doktrin stare decisis, tetapi terjadinya perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat dibenarkan bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan keteraturan hukum. 

Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal dengan konsep Legal Uniformity (kesatuan hukum). Sistem peradilan Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental harus pula menjaga kesatuan hukum.

Peraturan perundang--undangan selalu tertinggal dengan dinamika kehidupan masyarakat, disisi lain hakim/pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan berdalih bahwa alasan hkumnya tidak ada atau tidak jelas. 

Badan peradilan dituntut untuk melakukan inovasi hukum terhadap perbagai ketertinggalan peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal itu sejalan dengan amanat pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa hakim wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

Sangat disadari bahwa hakim memiliki kedudukan strategis sebagai pembuat hukum kedua (secondary legislature), setelah parlemen (primary legislature). Dengan otonomi yang ada padanya, hakim berkesempatan emas untuk membuat hukum yang baru melalui putusan-putusannya. 


Sumber : Himpunan Yurisprudensi Mahkamah Agung Sampai Dengan Tahun 2018 (Edisi Pertama)

Penegak Hukum

Merdeka dalam berkesimpulan, merdeka dalam bereaksi dan merdeka dalam berkreasi. Disinilah aku merasakannya !

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama